metrouniv.ac.id -
Dharma Setyawan, M.A. (Kaprodi Ekonomi Syariah IAIN Metro)
Apa yang membedakan pengetahuan sebagai sebuah wacana teori dengan
pengetahuan sebagai refleksi untuk modal gerakan. Dalam beberapa kali mengambil
tema diskusi, seminar, Focus Group Discussion (FGD) kita sering kali abaikan
terhadap refleksi pengetahuan untuk mengukur langkah gerakan konkrit. Mayoritas
perguruan tinggi bahkan sosialisasi program pemerintah dan legislatif
menjadikan diskusi sebagai ritual anggaran dengan tema yang itu-itu saja.
Saya yakin sekelompok entitas maju karena memuliakan pengetahaun.
Perguruan Tinggi yang maju juga membincangkan pengetahuan bukan hanya hanya
ritual monoton. Akan sangat berbeda orang-orang membuat diskusi dengan tema
yang baru atau masih membincangkan yang sama dari tahun ke tahun. Suasana ruang
yang tidak kondusif, pemateri yang monoton, tidak memberi dampak pada gerakan,
cerita yang kurang inspiratif bahkan mengulang-ngulang atas apa yang
disampaikan kampus-kampus besar dengan isu yang usang.
Gerakan komunitas di tengah urban mulai banyak merebut isu-isu yang
selama ini tidak dipikirkan oleh kalangan intelektual kampus. Dengan
forum-forum kecil, banyak komunitas menunjukkan kebutuhan pengetahuan menjadi
lebih dinamis, diskusi menjadi lebih hidup dan persoalan yang dibahas memang
sejalan dengan apa yang mereka kerjakan. Di kampus besar, di gedung mewah
pemerintah, mereka yang bergelar Guru Besar, mereka yang memanggul jabatan,
berbicara melangit tidak menyantuh akar persoalan yang sejatinya semakin
bertambah di masyarakat.
Komunitas kreatif memintal pengetahuan dengan kesetaraan, dengan
gotong-royong saling mengisi, menambal yang kurang dan tidak lupa harus
berpijak pada gerakan. Ini penting supaya komunitas tidak meniru para
intelektual salon dan birokrasi yang kurang inovasi. Misal dalam suatu Dinas
memiliki anggaran pencanangan Kota Literasi sebesar 50 juta. Karena kurang
inovasi mereka sibuk memasang tenda, membeli batik, melepas burung dara untuk
serimonial, bahkan OPD ditekan untuk memberi karangan bunga ucapan selamat.
Bandingkan dengan komunitas penggerak dalam menghidupkan gerakan
literasi. Pertama yang dilakukan adalah terus menyapa para penggerak, kemudian
menghidupkan donasi buku, menentukan teritorial untuk menghidupkan literasi,
mengisinya dengan gerakan terukur seperti kelas menulis, puisi, dongeng, bedah
buku, membaca buku dan integrasi gerakan lainnya untuk mendukung kampung
literasi. Keberlanjutan gerakan tentu akan dipikirkan komunitas dari pada
melepas burung atau memasang papan bunga yang kalau dikumpulkan dapat membeli
banyak buku.
Jadi mengapa tingkat literasi bangsa ini rendah? Pertama, Perguruan
Tinggi dan Pemerintah belum bergerak dalam membangun wacana untuk ikut andil
menuntaskan persoalan di tengah warga. Mereka membincangkan pengetahuan dengan
mengambil jarak melalui gedung mewah sambil mengunyah buah segar, snack
kantoran dan ditutup dengan makan siang
prasmanan. Kedua, Inovasi menjadikan anggaran kegiatan misal tema pencanangan
literasi dibelanjalan untuk hal-hal diluar kebutuhan. Alangkah pentingnya ke
depan sama-sama melihat kebutuhan anggaran untuk mendukung gerakan literasi itu
sendiri. Menyiapkan buku, lemari buku, fasilititor penggerak, dan terus gotong
royong di teritorial dimana gagasan akan didaratkan. Ketiga, misal dalam isu
radikalisme oleh digaungkan perguruan tinggi, tidak ada korelasi antara
landmark tugu moderasi yang menghabiskan ratusan juta dengan gerakan
pemberdayaan mendampingi masyarakat terindikasi radikal agar terukur menuju
toleran. Tema-tema yang terus diulang dan seakan hanya menjadi project tahunan.
Online | : | 1 User |
Hits | : | 4067869 |
Hari Ini | : | 72 |
Bulan Ini | : | 1516 |
Tahun Ini | : | 5312 |
Total | : | 1861950 |
Halaman :