• Telp : 0725-47297, 41507
  • Fax : 0725-47296
  • Email : iainmetro@metrouniv.ac.id
Diposting oleh Tgl 25-12-2021 & wkt 08:01:50 dibaca Sebanyak 25 Kali

metrouniv.ac.id - Dharma Setyawan, M.A. (Kaprodi Ekonomi Syariah IAIN Metro)

Apa yang membedakan pengetahuan sebagai sebuah wacana teori dengan pengetahuan sebagai refleksi untuk modal gerakan. Dalam beberapa kali mengambil tema diskusi, seminar, Focus Group Discussion (FGD) kita sering kali abaikan terhadap refleksi pengetahuan untuk mengukur langkah gerakan konkrit. Mayoritas perguruan tinggi bahkan sosialisasi program pemerintah dan legislatif menjadikan diskusi sebagai ritual anggaran dengan tema yang itu-itu saja.

Saya yakin sekelompok entitas maju karena memuliakan pengetahaun. Perguruan Tinggi yang maju juga membincangkan pengetahuan bukan hanya hanya ritual monoton. Akan sangat berbeda orang-orang membuat diskusi dengan tema yang baru atau masih membincangkan yang sama dari tahun ke tahun. Suasana ruang yang tidak kondusif, pemateri yang monoton, tidak memberi dampak pada gerakan, cerita yang kurang inspiratif bahkan mengulang-ngulang atas apa yang disampaikan kampus-kampus besar dengan isu yang usang.

Gerakan komunitas di tengah urban mulai banyak merebut isu-isu yang selama ini tidak dipikirkan oleh kalangan intelektual kampus. Dengan forum-forum kecil, banyak komunitas menunjukkan kebutuhan pengetahuan menjadi lebih dinamis, diskusi menjadi lebih hidup dan persoalan yang dibahas memang sejalan dengan apa yang mereka kerjakan. Di kampus besar, di gedung mewah pemerintah, mereka yang bergelar Guru Besar, mereka yang memanggul jabatan, berbicara melangit tidak menyantuh akar persoalan yang sejatinya semakin bertambah di masyarakat.

Komunitas kreatif memintal pengetahuan dengan kesetaraan, dengan gotong-royong saling mengisi, menambal yang kurang dan tidak lupa harus berpijak pada gerakan. Ini penting supaya komunitas tidak meniru para intelektual salon dan birokrasi yang kurang inovasi. Misal dalam suatu Dinas memiliki anggaran pencanangan Kota Literasi sebesar 50 juta. Karena kurang inovasi mereka sibuk memasang tenda, membeli batik, melepas burung dara untuk serimonial, bahkan OPD ditekan untuk memberi karangan bunga ucapan selamat.

Bandingkan dengan komunitas penggerak dalam menghidupkan gerakan literasi. Pertama yang dilakukan adalah terus menyapa para penggerak, kemudian menghidupkan donasi buku, menentukan teritorial untuk menghidupkan literasi, mengisinya dengan gerakan terukur seperti kelas menulis, puisi, dongeng, bedah buku, membaca buku dan integrasi gerakan lainnya untuk mendukung kampung literasi. Keberlanjutan gerakan tentu akan dipikirkan komunitas dari pada melepas burung atau memasang papan bunga yang kalau dikumpulkan dapat membeli banyak buku.

Jadi mengapa tingkat literasi bangsa ini rendah? Pertama, Perguruan Tinggi dan Pemerintah belum bergerak dalam membangun wacana untuk ikut andil menuntaskan persoalan di tengah warga. Mereka membincangkan pengetahuan dengan mengambil jarak melalui gedung mewah sambil mengunyah buah segar, snack kantoran dan  ditutup dengan makan siang prasmanan. Kedua, Inovasi menjadikan anggaran kegiatan misal tema pencanangan literasi dibelanjalan untuk hal-hal diluar kebutuhan. Alangkah pentingnya ke depan sama-sama melihat kebutuhan anggaran untuk mendukung gerakan literasi itu sendiri. Menyiapkan buku, lemari buku, fasilititor penggerak, dan terus gotong royong di teritorial dimana gagasan akan didaratkan. Ketiga, misal dalam isu radikalisme oleh digaungkan perguruan tinggi, tidak ada korelasi antara landmark tugu moderasi yang menghabiskan ratusan juta dengan gerakan pemberdayaan mendampingi masyarakat terindikasi radikal agar terukur menuju toleran. Tema-tema yang terus diulang dan seakan hanya menjadi project tahunan.

Kritik ini untuk kita semua agar lebih membumi atas tema apapun yang kita wacanakan. Pengetahuan sebagai modal utama gerakan harus ditempatkan sesuai porsinya. Bahwa yang nampak belum tentu berdampak, yang di gedung-gedung mewah belum tentu menyentuh yang dilapangan. Yang menghabiskan anggaran besar belum tentu berdampak pada perubahan sosial. Ciri intelektual adalah sikap skeptis, mereka harus berani refleksi atas apa yang selama ini dilakukan. Selalu mengasah kepekaan, memperbaiki kualitas pertanyaan. Mempertanyakan ritual anggaran yang high budget low impact. Mendukung komunitas yang sering high impact low budget. Jika Masyarakat/Komunitas sudah terbuka/ toleransi pada gagasan, Talenta perguruan tinggi bergerak melakukan pendampingan dan Pemerintah memfasilitasi Teknologi dan lainnya, maka disanalah Creative-Hub 3 T sudah ditemukan. 

Berita Lainnya

Masukkan Komentar

tbwfr

Total Komentar (0)


Halaman :
Facebook Pages
 
Twitter