metrouniv.ac.id -
Dr. Siti
Nurjanah, M.Ag. ( Rektor IAIN Metro)
Pandemi belum berakhir, namun kita tidak boleh pesimis
dalam menghadapi situasi saat ini. Optimisme adalah kunci kesuksesan dalam
hidup ini. Dengan dilandasi sikap optimis, maka hati kita akan terasa lapang,
jiwa akan terasa tenang. Sebagaimana pepatah Arab menyebutkan bahwa
"barang siapa bersungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkannya". Pepatah
tersebut memberikan makna bahwa optimisme itu membawa hasil positif dalam
hidup. Kesungguhan menjalani peran sebagai hamba Allah di muka bumi adalah
sikap optimis dalam hidup. Sadar akan perannya sebagai makhluk Tuhan, yang
diberi tugas memelihara, mengelola dan memanfaatkan
alam jagat raya ini, agar dapat lestari dan terus membawa manfaat dan maslahat.
Memelihara berarti secara konsisten menjaga keberlangsungan alam ini agar
selalu tumbuh subur memberkahi. Mengelola berarti manusia sebagai makhluk Tuhan
yang diberi akal harus mampu mengelola alam dengan baik, sehingga bisa
digunakan sesuai dengan fungsinya. Memanfaatkan berarti harus mampu
mendayagunakan alam ini dengan baik, menggunakan sesuai dengan kebutuhan dan
tidak boleh berlebih-lebihan.
Situasi saat ini memberikan signal kepada kita untuk
terus melakukan sikap optimisme dalam hidup ini. Pandemi Covid-19 belum
berakhir seiring dengan terjadinya pergantian tahun baru Islam 1443 H. Kita
semakin dibawa ke situasi yang sulit, dampak Covid-19 telah banyak mengajarkan
kepada kita dengan bukti akan banyaknya Ulama, Kyai, tenaga kesehatan dan
pendidik dan bahkan masyarakat yang meninggal di masa pandemi ini. Lalu apakah
kita hanya diam termangu? Pasrah saja dengan keadaan, hanya menunggu saja
kepastian Tuhan tanpa ada ikhtiar? Tentu tidak karena kita harus selalu
berikhtiar untuk melawan penyakit tersebut dengan ikhtiar Rubiah dan jasadiah.
Ikhtiar ruhiah yakni upaya kita semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan
melaksanakan ibadah secara sungguh-sungguh, berharap ridhaNya, berharap
pertolongan dariNya dan memohon dicukupkan ujian dariNya. Karena sesungguhnya
ini adalah salah satu bentuk ujian yang Allah turunkan kepada kita untuk
menguji keimanan dan kesabaran kita sebagai hambaNya. Bagi orang beriman
fenomena ini merupakan ujian yang diisyaratkan dalam Alquran Surat Al-Baqarah
ayat 155, "Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. Bersabar akan ujian yang Allah
berikan dengan meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Kita harus percaya
bahwa semua yang terjadi di muka bumi ini tidak luput dari campur tangan Allah, menguji kesabaran hambaNya
dalam menjalani kehidupan.
Selanjutnya, ikhtiar jasadiah juga harus kita lakukan
dengan senantiasa menjaga kebersihan, menjaga pola hidup, pola makan,
sebagaimana telah diajarkan dalam tuntunan agama kita. Rasulullah mengajarkan
kepada kita untuk menjaga kebersihan sebagaimana tertuang dalam Al-Qur an
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri" (QS Al-Baqarah : 222). Mensucikan diri
memberikan makna menjaga kebersihan baik lahir maupun bathin. Secara lahir
berarti seluruh anggota tubuh harus
bersih, lalu diimplementasikan dengan perintah berwudhu sebelum melaksanakan
ibadah shalat, membaca Al-Qur an dan bahkan kita disunnahkan selalu terjaga
dalam wudhu. Diperintahkan mandi sebagai ikhtiar kebersihan, baik itu mandi
wajib karena sebab yang ditetapkan maupun mandi Sunnah.
Kemudian menjaga pola hidup dan pola makan,
sebagaimana diajarkan Rasulullah, bahwa beliau mengajarkan kepada kita untuk
makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Ini artinya bahwa makan
seperlunya sesuai kemampuan perut kita yang terbatas, jangan melampaui batas
dan jangan berlebihan, karena sesuatu yang berlebihan tidak dikehendaki dalam
Islam. Sebagaimana tertuang dalam Al-Qur an "Katakanlah: “Hai Ahli Kitab,
janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam
agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat
dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS Al-Maidah:77).
Menjaga pola hidup dan pola makan adalah ikhtiar
jasadiah yang harus dilakukan manusia, agar terhindar dari berbagai penyakit.
Covid-19 lebih banyak menyerang orang-orang yang memiliki penyakit bawaan.
Sehingga Pemerintah mengajak kita untuk menerapkan protokol kesehatan melalui 5
M + 1 D, yakni, memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi
kerumunan, mengurangi mobilitas/interaksi, dan doa). Apa yang diperintahkan
oleh Pemerintah itu adalah ikhtiar jasadiah yang bisa kita lakukan, agar
seimbang dengan ikhtiar ruhiah yang kita jalankan.
Oleh sebab itu,
kita harus seimbang dalam menjalani kehidupan jangan berlebih-lebihan. Seperti
yang diingatkan oleh Rasulullah SAW bahwa sebaik-baik urusan adalah yang
tengah-tengah. Rasulullah SAW mengajarkan hidup untuk tak berlebihan. Hidup
seimbang adalah sebuah fitrah. Berlebihan dalam hal apapun jelas tidaklah baik.
Apalagi dalam beribadah dan beragama. Jangan sampai semangat berlebihan dalam
beragama mendorong seseorang jatuh dalam perbuatan para ahli kitab.
Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Hai Ahli
Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak
benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang
telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah
menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang
lurus'." (QS al-Maidah [5]: 77)
Menjadi golongan yang seimbang dalam mengerjakan agama
-dengan ilmu tentu saja- jauh lebih menenteramkan jiwa. Kita akan menjadi
manusia yang terus bertumbuh karena semangat tak datang sekaligus lantas
menghilang. Semangat mengikuti ritme jiwa yang kadang naik dan kadang turun.
Semangat yang berlebihan juga akan menjadikan standar
kita dalam beragama menjadi kacau. Kita akhirnya melihat sekitar dengan
pandangan sinis. Orang-orang dinilai tak mengamalkan ajaran agama dengan benar.
Bibit-bibit konflik sosial pun bisa muncul dari sikap ini. Para ulama
menyebutnya ghuluw.
Kita dilarang keras bersikap berlebihan utamanya dalam
beragama. Berlebihan dalam perkara dunia bisa jadi efeknya akan langsung
terasa. Begitu juga berlebihan dalam beragama. Allah SWT berfirman, "Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS al-Maidah [5]:
87)
Semoga kita dijauhkan dari sikap berlebihan dalam
beragama. Ghirah dalam menyambut seruan Allah SWT dan Rasul-Nya bukan berarti
menjatuhkan kita pada sikap ghuluw. Kuncinya adalah ilmu dan benar dalam
beragama.
Memasuki tahun baru Islam 1443 Hijriah ini mengajak
kita melakukan hijrah dari yang belum baik menjadi baik, yang sudah baik
menjadi lebih baik. Merajut Keberagaman dan menjaga Kebhinnekaan di bumi persada
Indonesia ini agar senantiasa terjaga keharmonisan hidup. Harmonisasi harus
terwujud untuk semua elemen bangsa dan negara Indonesia tercinta ini. Kita
harus menerima keragaman agama, suku, adat, budaya dan kemampuan pribadi
masing-masing yang ada dalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman tersebut
adalah kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia yang harus dijaga dan dirawat
dengan sebaik-baiknya. Kita harus berpindah dari kegelapan menuju kehidupan
yang terang benderang. Bekal tuntunan yang telah diberikan Rasul kepada kita
harus kita jadikan sebagai dasar perbaikan ke depan. Sikap optimis harus selalu
kita implementasikan sehingga kehidupan positif akan kita dapatkan. Jangan
mudah menyerah tetapi harus tetap ikhtiar
melakukan kebaikan-kebaikan sesuai dengan tuntunan agama dan aturan yang
berlaku dari Pemerintah.
Mari kita jadikan momentum Tahun Baru Islam 1433 H
sebagai titik awal kehidupan baru menuju kenormalan baru sebagaimana dipesankan
oleh Menteri Agama Republik Indonesia Bapak H. Yaqut Cholil Qoumas, bahwa
"peristiwa hijrah mengingatkan kita pada peristiwa berpindahnya Rasulullah
dari Makkah ke Madinah. Peristiwa ini
sangat monumental dalam sejarah perjuangan Islam. Spirit hijrah salah satunya adalah
kemampuan melakukan perpindahan, perubahan dan adaptasi dalam merespon situasi
dan kondisi. Pandemi memaksa kita untuk melakukan penyesuaian dan perubahan
menuju kenormalan baru. Karena itu, spirit hijrah dalam konteks pandemi bisa
diwujudkan dalam kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan 5 M sebagai ikhtiar
menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa". Tetap jaga kesehatan, jalankan
aturan yang ditetapkan dengan penuh ketaatan, untuk mendapatkan keselamatan di
dunia dan di akhirat yang senantiasa kita nantikan.
Online | : | 1 User |
Hits | : | 4067870 |
Hari Ini | : | 72 |
Bulan Ini | : | 1516 |
Tahun Ini | : | 5312 |
Total | : | 1861950 |