• Telp : 0725-47297, 41507
  • Fax : 0725-47296
  • Email : iainmetro@metrouniv.ac.id
Diposting oleh humas Tgl 10-08-2021 & wkt 11:54:47 dibaca Sebanyak 452 Kali

metrouniv.ac.id - Dr. Siti Nurjanah, M.Ag. ( Rektor IAIN Metro)

Pandemi belum berakhir, namun kita tidak boleh pesimis dalam menghadapi situasi saat ini. Optimisme adalah kunci kesuksesan dalam hidup ini. Dengan dilandasi sikap optimis, maka hati kita akan terasa lapang, jiwa akan terasa tenang. Sebagaimana pepatah Arab menyebutkan bahwa "barang siapa bersungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkannya". Pepatah tersebut memberikan makna bahwa optimisme itu membawa hasil positif dalam hidup. Kesungguhan menjalani peran sebagai hamba Allah di muka bumi adalah sikap optimis dalam hidup. Sadar akan perannya sebagai makhluk Tuhan, yang diberi tugas memelihara, mengelola  dan memanfaatkan alam jagat raya ini, agar dapat lestari dan terus membawa manfaat dan maslahat. Memelihara berarti secara konsisten menjaga keberlangsungan alam ini agar selalu tumbuh subur memberkahi. Mengelola berarti manusia sebagai makhluk Tuhan yang diberi akal harus mampu mengelola alam dengan baik, sehingga bisa digunakan sesuai dengan fungsinya. Memanfaatkan berarti harus mampu mendayagunakan alam ini dengan baik, menggunakan sesuai dengan kebutuhan dan tidak boleh berlebih-lebihan.

Situasi saat ini memberikan signal kepada kita untuk terus melakukan sikap optimisme dalam hidup ini. Pandemi Covid-19 belum berakhir seiring dengan terjadinya pergantian tahun baru Islam 1443 H. Kita semakin dibawa ke situasi yang sulit, dampak Covid-19 telah banyak mengajarkan kepada kita dengan bukti akan banyaknya Ulama, Kyai, tenaga kesehatan dan pendidik dan bahkan masyarakat yang meninggal di masa pandemi ini. Lalu apakah kita hanya diam termangu? Pasrah saja dengan keadaan, hanya menunggu saja kepastian Tuhan tanpa ada ikhtiar? Tentu tidak karena kita harus selalu berikhtiar untuk melawan penyakit tersebut dengan ikhtiar Rubiah dan jasadiah. Ikhtiar ruhiah yakni upaya kita semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ibadah secara sungguh-sungguh, berharap ridhaNya, berharap pertolongan dariNya dan memohon dicukupkan ujian dariNya. Karena sesungguhnya ini adalah salah satu bentuk ujian yang Allah turunkan kepada kita untuk menguji keimanan dan kesabaran kita sebagai hambaNya. Bagi orang beriman fenomena ini merupakan ujian yang diisyaratkan dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 155, "Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. Bersabar akan ujian yang Allah berikan dengan meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Kita harus percaya bahwa semua yang terjadi di muka bumi ini tidak luput dari campur  tangan Allah, menguji kesabaran hambaNya dalam menjalani kehidupan.

Selanjutnya, ikhtiar jasadiah juga harus kita lakukan dengan senantiasa menjaga kebersihan, menjaga pola hidup, pola makan, sebagaimana telah diajarkan dalam tuntunan agama kita. Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk menjaga kebersihan sebagaimana tertuang dalam Al-Qur an "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri" (QS Al-Baqarah : 222). Mensucikan diri memberikan makna menjaga kebersihan baik lahir maupun bathin. Secara lahir berarti seluruh anggota tubuh  harus bersih, lalu diimplementasikan dengan perintah berwudhu sebelum melaksanakan ibadah shalat, membaca Al-Qur an dan bahkan kita disunnahkan selalu terjaga dalam wudhu. Diperintahkan mandi sebagai ikhtiar kebersihan, baik itu mandi wajib karena sebab yang ditetapkan maupun mandi Sunnah.

Kemudian menjaga pola hidup dan pola makan, sebagaimana diajarkan Rasulullah, bahwa beliau mengajarkan kepada kita untuk makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Ini artinya bahwa makan seperlunya sesuai kemampuan perut kita yang terbatas, jangan melampaui batas dan jangan berlebihan, karena sesuatu yang berlebihan tidak dikehendaki dalam Islam. Sebagaimana tertuang dalam Al-Qur an "Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS Al-Maidah:77).

Menjaga pola hidup dan pola makan adalah ikhtiar jasadiah yang harus dilakukan manusia, agar terhindar dari berbagai penyakit. Covid-19 lebih banyak menyerang orang-orang yang memiliki penyakit bawaan. Sehingga Pemerintah mengajak kita untuk menerapkan protokol kesehatan melalui 5 M + 1 D, yakni, memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, mengurangi mobilitas/interaksi, dan doa). Apa yang diperintahkan oleh Pemerintah itu adalah ikhtiar jasadiah yang bisa kita lakukan, agar seimbang dengan ikhtiar ruhiah yang kita jalankan.

 Oleh sebab itu, kita harus seimbang dalam menjalani kehidupan jangan berlebih-lebihan. Seperti yang diingatkan oleh Rasulullah SAW bahwa sebaik-baik urusan adalah yang tengah-tengah. Rasulullah SAW mengajarkan hidup untuk tak berlebihan. Hidup seimbang adalah sebuah fitrah. Berlebihan dalam hal apapun jelas tidaklah baik. Apalagi dalam beribadah dan beragama. Jangan sampai semangat berlebihan dalam beragama mendorong seseorang jatuh dalam perbuatan para ahli kitab.

Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus'." (QS al-Maidah [5]: 77)

Menjadi golongan yang seimbang dalam mengerjakan agama -dengan ilmu tentu saja- jauh lebih menenteramkan jiwa. Kita akan menjadi manusia yang terus bertumbuh karena semangat tak datang sekaligus lantas menghilang. Semangat mengikuti ritme jiwa yang kadang naik dan kadang turun.

Semangat yang berlebihan juga akan menjadikan standar kita dalam beragama menjadi kacau. Kita akhirnya melihat sekitar dengan pandangan sinis. Orang-orang dinilai tak mengamalkan ajaran agama dengan benar. Bibit-bibit konflik sosial pun bisa muncul dari sikap ini. Para ulama menyebutnya ghuluw.

Kita dilarang keras bersikap berlebihan utamanya dalam beragama. Berlebihan dalam perkara dunia bisa jadi efeknya akan langsung terasa. Begitu juga berlebihan dalam beragama. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS al-Maidah [5]: 87)

Semoga kita dijauhkan dari sikap berlebihan dalam beragama. Ghirah dalam menyambut seruan Allah SWT dan Rasul-Nya bukan berarti menjatuhkan kita pada sikap ghuluw. Kuncinya adalah ilmu dan benar dalam beragama.

Memasuki tahun baru Islam 1443 Hijriah ini mengajak kita melakukan hijrah dari yang belum baik menjadi baik, yang sudah baik menjadi lebih baik. Merajut Keberagaman dan menjaga Kebhinnekaan di bumi persada Indonesia ini agar senantiasa terjaga keharmonisan hidup. Harmonisasi harus terwujud untuk semua elemen bangsa dan negara Indonesia tercinta ini. Kita harus menerima keragaman agama, suku, adat, budaya dan kemampuan pribadi masing-masing yang ada dalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman tersebut adalah kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia yang harus dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Kita harus berpindah dari kegelapan menuju kehidupan yang terang benderang. Bekal tuntunan yang telah diberikan Rasul kepada kita harus kita jadikan sebagai dasar perbaikan ke depan. Sikap optimis harus selalu kita implementasikan sehingga kehidupan positif akan kita dapatkan. Jangan mudah menyerah tetapi harus tetap ikhtiar  melakukan kebaikan-kebaikan sesuai dengan tuntunan agama dan aturan yang berlaku dari  Pemerintah.

Mari kita jadikan momentum Tahun Baru Islam 1433 H sebagai titik awal kehidupan baru menuju kenormalan baru sebagaimana dipesankan oleh Menteri Agama Republik Indonesia Bapak H. Yaqut Cholil Qoumas, bahwa "peristiwa hijrah mengingatkan kita pada peristiwa berpindahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah.  Peristiwa ini sangat monumental dalam sejarah perjuangan Islam. Spirit hijrah salah satunya adalah kemampuan melakukan perpindahan, perubahan dan adaptasi dalam merespon situasi dan kondisi. Pandemi memaksa kita untuk melakukan penyesuaian dan perubahan menuju kenormalan baru. Karena itu, spirit hijrah dalam konteks pandemi bisa diwujudkan dalam kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan 5 M sebagai ikhtiar menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa". Tetap jaga kesehatan, jalankan aturan yang ditetapkan dengan penuh ketaatan, untuk mendapatkan keselamatan di dunia dan di akhirat yang senantiasa kita nantikan.

 

Author HUMAS

Berita Lainnya

Oleh : Prof. Dr. Enizar, M.Ag
Oleh : Prof. Dr. Enizar, M.Ag
Oleh : Prof. Dr. Enizar, M.Ag
Oleh : Prof. Dr. Enizar, M.Ag
Oleh : Prof. Dr. Enizar, M.Ag
Oleh : Administrator
Oleh : Siti Sufiah
Oleh : Siti Sufia
Oleh : Prof. Dr. Enizar, M.Ag
Oleh : Muhammad Ryan Fahlevi

Masukkan Komentar

ZhPAJ

Total Komentar (0)


Halaman :
Facebook Pages
 
Twitter