metrouniv.ac.id
- Dr. Mukhtar Hadi, M.Si. (Direktur
PascasarjanaIAIN Metro)
Vivere
Pricoloso adalah sebuah frasa Bahasa Italia yang artinya hidup penuh bahaya
atau hidup yang menyerempet bahaya. Frasa ini dahulu pernah digunakan oleh
Soekarno sebagai bagian dari judul pidato kenegaraan pada peringatan Hari Ulang
Tahun ke-19 Republik Indonesia tahun 1964. Judul pidato itu adalah ‘Tahun
Vivere Pricoloso’ atau di singkat TAVIP, yang berarti Tahun Penuh Bahaya. Inti
dari pidato Soekarno yang berjudul Tavip itu adalah bahwa proses revolusi
Indonesia itu seharusnya berjalan kearah yang lebih baik, namun di ganggu oleh
ranjau-ranjau subversiv yang ingin menggagalkannya. Ranjau-ranjau itu ada yang
datang dari luar namun ada pula yang datang dari dalam tubuh bangsa sendiri.
Soekarno menilai bahwa semua gangguan revolusi itu adalah resiko dan bahaya
yang harus dihadapi dan tidak boleh gentar sedikitpun.
Judul pidato
Presiden Soekarno itu kemudian menginspirasi Christopher Koch, seorang penulis
Australia untuk menulis sebuah novel yang diterbitkan tahun 1978 dengan judul The
Year of Living Dangerously, yang kemudian dijadikan film dengan judul yang
sama. Film ini dibuat tahun 1982, di produksi di Australia dan dibintangi
artis-artis terkenal seperti Mel Gibson, Sigourney Wiver, dan Linda Hunt. Kisah film ini dilatarbelakangi keadaan di
Jakarta pada tahun 1965 menjelang dan saat terjadinya peristiwa G-30 S/PKI.
Baik,
lupakan soal isi pidato presiden Soekarno soal tantangan dan bahaya yang
dihadapi dalam menjalankan revolusi Indonesia itu. Mari kembali kepada makna
frasa Vivere Pricoloso yang sekali lagi berarti hidup yang menyerempet bahaya.
Apa ada orang yang memilih hidup dengan menyerempet-menyerempet bahaya? Tentu
ada, dan banyak. Para petualang yang hobinya berkelana menjelajah alam,
pegunungan dan lembah, hidup dengan binatang buas, walaupun terkadang nyawa menjadi taruhannya. Pelaku kriminal: pencuri,
penjambret, pembegal, perampok dan pelaku kriminal lainnya, bila sedang apes
dan nahas dapat ditangkap massa, bisa meregang nyawa oleh karena menjadi luapan
kemarahan. Belum lagi yang ditangkap polisi, diberi hadian timah panas. Ada sebagian
orang memilih hidup atau terpaksa hidup dengan menyerempet bahaya.
Memilih
hidup bervivere pericoloso menjadi pilihan sebagian orang. Dalam konteks yang
positif pilihan ini tentu tidak ada masalah, karena sesungguhnya kehidupan ini
memang penuh tantangan, dan memiliki gelombang pasang surut. Orang menyebut
dinamika kehidupan. Apapun bahaya dan tantangannya harus dihadapi selagi untuk
meraih hidup dan kehidupan yang lebih baik. Namun jika orang memilih hidup
bervivere pericoloso dalam arti negative, maka akan menjadi masalah bagi
kehidupannya dan kehiduan orang lain. Ia memilih hidup yang dekat-dekat dengan
perilaku yang merusak, merugikan dirinya sendiri, merusak alam, mengganggu
orang lain, tercebur dalam perilaku dosa dan maksiat yang tiada akhir. Jangan
lakukan itu, jangan lakukan hidup yang menyerempet dosa dan maksiat.
Beramal Yang Menyerempet Dosa
Berhati-hati
dalam melakukan sesuatu perbuatan apalagi perbuatan itu bisa berakhir dan
berakibat pada perbuatan dosa dan maksiat. Ada orang yang terkadang memilih
mencoba melakukan sesuatu dianggap persoalan dosa kecil namun lama-lama ia
terjerumus pada perilaku dosa yang lebih besar lagi. Orang seperti itu diibaratkan
sebagai orang yang tidak bisa berenang namun nekat memilih berenang ke tengah
laut yang dalam dan bergelombang besar. Tenggelamlah orang itu di dasar laut
dan ditelan gelombang.
Seorang
pejabat yang baru saja diberikan amanah jabatan merasa memiliki kewenangan dan peluang untuk
menggunakan jabatannya. Awalnya ia mencoba menyelewengkan amanah jabatan itu
dari hal-hal yang kecil, korupsi kecil-kecilan. Merasa aman. Karena
menguntungkan, lalu ia mencoba penyelewengan dengan jumlah yang lebih besar,
meningkat lebih besar lagi, hingga ia terjerumus dalam perilaku koruptif. Lama
kelamaan ia menikmati perilaku koruptif itu, dianggap biasa dan merasa bukan
perbuatan dosa. Di tempat lain, ada anak-anak muda yang memiliki lingkungan
pergaulan baru, supaya dianggap gaul ia menerima ajakan kawannya mencoba
menikmati pengalaman baru: merokok, miras, narkotika. Awalnya sebagai bentuk
solidaritas berkawan, namun lama-kelamaan ia terjerumus di dalamnya lebih dalam
dengan obat-obatan terlarang.
Nabi
Muhammad mengingatkan kepada kita semua tentang larangan untuk tidak
dekat-dekat dengan perbuatan yang dapat berakibat menjerumuskan diri kepada
perbuatan dosa dan maksiat. Nabi mengibaratkan seperti seorang penggembala yang
menggemblakan gembalaannya dekat pagar sebuah kebun, maka lama-kelamaan hewan
piaraan itu akan menyerobot makan tanaman. Para ahli hikmah mengingatkan bahwa
untuk mendapatkan kebaikan dan ketentraman hati dapat ditempuh salah satunya
dengan banyak bergaul dan dekat bersama orang-orang yang shaleh. Memilih hidup
dengan orang shaleh artinya memilih hidup dengan kebaikan dan tidak memilih
hidup yang menyerempet-nyerempet dosa.
Kesimpulannya,
boleh bervivere pericoloso (hidup menyerempet bahaya) untuk kebaikan, tetapi
jangan bervivere pericoloso untuk dosa dan kemaksiatan. Kesimpulan ini
lagi-lagi diambil dari kisah tentang Soekarno, Proklamator kita.
Saat
menghadiri penutupan Muktamar NU di Solo, Jawa Tengah pada 28 Desember 1962. Penutupan
muktamar itu bertepatan dengan hari Jum’at. Sesaat setelah Rais Aam PBNU
KH.Abdul Wahab Chasbulah menyampaikan tausiyah, giliran Presiden Soekarno
memberikan amanat. Seperti biasa, pidato Bung Karno selalu menggebu-gebu dan
bersemangat. Saat itu beliau mengajak muktamirin untuk bervivere pericoloso.
“Saya selalu
menganjurkan agar berani hidup nyerempet bahaya. Dalam bahasa asingnya Vivere
Pericoloso. Jangan kita hidup baik sebagai bangsa maupun sebagai pemuda itu
takut kepada bahaya. Apa yang benar, apa yang salah, ini yang benar itu yang
saya jalankan, tidak peduli rintangan apa, tidak peduli ada bahaya di muka
saya”. Begitu kata Bung Karno dengan
berapi-api.
“Sebagaimana
ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW, pernahkan Nabi selamat, selamat, selamat,
tidak! Jikalau perlu gempur! Jika perlu nyerempet kepada bahaya itu. Vivere
Pericoloso”. Dan Bung Karno terus berpidato
semakin semangat. Waktu hari Jum’at dan sudah menunjukkan jam 11.45. Para
muktamirin sudah hendak siap-siap sholat Jum’at. Tempo pidato Bung Karno mulai
turun.
“Tetapi
jangan kita vivere pericoloso terhadap Tuhan. Janganlah kita nyerempet bahaya
yang ditentukan oleh Tuhan. Nah..sekarang juga saudara-saudari, jikalau
saudara-saudari… terus pidato, terus pidato…jam sudah menunjukkan jam 12 kurang sperempat, saya tidak berani
vivere pericoloso terhadap Tuhan” Lalu Bung Karno mengakhiri amanatnya. Wallahu
a’lam bishawab. (Pringsewu, mh.22/12/21)
Online | : | 1 User |
Hits | : | 4067847 |
Hari Ini | : | 61 |
Bulan Ini | : | 1505 |
Tahun Ini | : | 5301 |
Total | : | 1861939 |
Halaman :